Implementasi
Wawasan Nusantara Dalam Aspek - Aspek Kehidupan Nasional dan Kaitkan Dengan
Contoh konkrit Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.
Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengimplementasikan wawasan
nusantara, yaitu:
1.
Pelaksanaan
kehidupan politik yang diatur dalam undang-undang, seperti UU Partai Politik, UU Pemilihan
Umum,
dan UU Pemilihan Presiden. Pelaksanaan undang-undang tersebut harus sesuai
hukum dan mementingkan persatuan bangsa.Contohnya seperti dalam pemilihan presiden, anggota DPR, dan kepala
daerah
harus menjalankan prinsip demokratis dan keadilan, sehingga tidak menghancurkan
persatuan dan kesatuan bangsa.
2.
Pelaksanaan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia harus sesuai denga hukum
yang berlaku. Seluruh bangsa Indonesia harus mempunyai dasar hukum yang sama bagi setiap warga negara, tanpa
pengecualian. Di Indonesia terdapat banyak produk hukum yang dapat diterbitkan
oleh provinsi dan kabupaten dalam bentuk peraturan daerah (perda) yang tidak bertentangan dengan hukum
yang berlaku secara nasional.
3.
Mengembagkan
sikap hak asasi manusia dan sikap pluralisme untuk mempersatukan berbagai suku,
agama, dan bahasa yamg berbeda, sehingga menumbuhkan sikap toleransi.
4.
Memperkuat
komitmen politik terhadap partai politik dan lembaga pemerintahan untuk menigkatkan semangat kebangsaan
dan kesatuan.
5.
Meningkatkan
peran Indonesia dalam kancah internasional dan memperkuat korps diplomatik sebagai upaya penjagaan wilayah
Indonesia terutama pulau-pulau terluar dan pulau kosong.
Implementasi wawasan nusantara kepada
aparatur pemerintah dalam pendistribusian komoditi beras
Ketahanan Pangan (food security) seperti menjadi
paradoks dunia modern, secara prosentase lebih banyak produsen pangan di masa
lalu ketimbang masa kini. Paradoks ini bisa terlihat jelas di banyak negara
maju, salah satunya adalah Inggeris. Prosentase populasi pertanian di Inggeris
tahun 1950 adalah 6% dan terus menurun secara drastis hingga 2 % di tahun 2000,
dan berdasarkan prediksi FAO (Food and
Agriculture Organization), jumlah populasi pertanian di Inggris
terus turun menjadi 1% di tahun 2010. Sederhananya, sekitar 896,000 petani akan
memberi makan sedikitnya 60 juta penduduk.
Ketahanan pangan
nasional tidak menganjurkan untuk melakukan swasembada produksi pangan karena
tergantung pada sumberdaya yang dimiliki. Suatu negara bisa menghasilkan dan
mengekspor komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan barang-barang
industri, kemudian membeli komoditas pangan di pasar internasional. Sebaliknya,
negara yang melakukan swasembada produksi pangan pada level nasional, namun
dijumpai ada warga masyarakat yang rawan pangan karena hambatan akses dan
distribusi pangan.
Kelahiran Bulog
tahun 1967, sejak awal diproyeksikan untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia
melalui tiga mekanisme: Pertama,
stabilisasi harga beras, Kedua,
meningkat kesejahteraan Petani dan Ketiga,
menjalin hubungan bilateral dengan negara penghasil pangan ASEAN +3 (Jepang,
Korea Selatan, China). Bulog berfungsi sebagai pengotrol harga beras dengan
cara mematok harga beras domestik secara signifikan lebih tinggi dari harga
beras dunia (Alderman & Timmer 1980, Timmer Falcon and Pearson 1983, Timmer
2002). Hal ini masih menjadi kebijakan Megawati hingga tahun 2004 (Timmer
2004).
Kebijakan harga
beras telah menjadi basis kebijakan pangan dan beras lebih dari 300 tahun,
sejak masa colonial Belanda. Sayangnya, nature
dari kebijakan harga pangan hari ini sangat berbeda dengan
asal-muasalnya. Pemerintah Kolonial Belanda selalu menginginkan harga buruh
yang murah bagi investasi pertaniannya di nusantara. Karena itu, harga dasar
pangan dan beras selalu ditekan rendah, karena harga beras sangat penting bagi
konsumsi masyarakat, sehingga perlu membuat harga dasar pangan utama tersebut
rendah sepanjang waktu. (Mears and Moeljono 1981: 23-24).
Melalui penetapan
Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan Bea Masuk beras yang diberlakukan sekarang
ini, juga sebetulnya tidak cukup memadai untuk dijadikan sebagai instrumen
pengendali jatuhnya harga. Terlebih lagi disebut sebagai instrumen penopang
ketahanan pangan nasional. Kebijakan yang sebetulnya tampak “sederhana” itu,
kenyataannya, juga tidak bisa berjalan secara efektif di lapangan. Sebab, bukan
sekedar sikap setengah hati pemerintah dalam melindungi harga pangan nasional,
tapi juga mudahnya penyimpangan dilakukan karena didorong oleh perburuan rente
(rent seeking), yang
melibatkan banyak pihak, yang ditunjukkan dengan semangat mengimpor beras baik
secara legal maupun ilegal.
Sebagai negara yang
sedang berkembang, Indonesia mempunyai masalah serius pada ketahanan pangan
khususnya beras. Pada masa Orde Baru (Orba) Indonesia pernah menjadi negara
swasembada pangan. Tetapi, sekarang Indonesia menjadi negara pengimpor beras
untuk mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri. Hal ini terjadi karena
produktifitas dalam negeri lamban dan tidak bisa mencukupi kebutuhan pangan
sendiri bersamaan dengan statistik penduduk yang semakin menigkat.
Sampai saat ini
harga beras nasional mengalami kenaikan, hal ini bisa dikarenakan oleh minimnya
petani menanan padi, atau kekurangan stock beras harus dipenuhi beras impor
dari luar negeri. Dengan menurunnya produksi beras Indonesia mengalami
kerawanan pangan nasional, khususnya beras mencapai 1,1 juta ton. Pada tahun
2011, kebutuhan beras nasional mencapai 2,5 juta ton per bulan, sedangkan
produksi beras diprediksi hanya 2 juta ton, artinya ada kekurangan pasokan 500
ribu ton yang harus dipenuhi dari impor.
Ketahanan pangan
menghendaki ketersediaan pangan yang cukup bagi seluruh penduduk dan setiap
rumah tangga. Dalam arti setiap penduduk dan rumah tangga mampu untuk
mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup. Permasalahan aspek
produksi diawali dengan ketidakcukupan produksi bahan pangan untuk memenuhi
kebutuhan penduduk. Hal ini disebabkan oleh laju pertumbuhan produksi pangan
yang relatif lebih lambat dari pertumbuhan permintaannya. Permasalahan tersebut
akan berpengaruh pada ketersediaan bahan pangan.
Ketersediaan bahan
pangan bagi penduduk akan semakin terbatas akibat kesenjangan yang terjadi
antara produksi dan permintaan. Selama ini, permasalahan ini dapat diatasi
dengan impor bahan pangan tersebut. Namun, sampai kapan bangsa ini akan
mengimpor bahan pangan dari luar? Karena hal ini tidak akan membuat bangsa ini
berkembang. Sebaliknya akan mengancam stabilitas ketahanan pangan di Indonesia
dan juga mengancam produk dalam negeri.
Dalam
perspektif Wasantara, secara geografis, +17.000 pulau membentang
dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Kita juga menjadi
pemilik laut dan garis pantai terpanjang sedunia. Di atas semua itu, potensi
kawasan tropis dengan sumberdaya alam melimpah, harusnya mampu dikelola dan
diberdayakan terutama dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional.
Indonesia saat ini
memiliki 39% juta petani (BPS: 2012), tetapi fakta-fakta dari Nusa Tenggara
Barat (yang kerap dikenal sebagai daerah lumbung padi) serta daerah semi arid
seperti Nusa Tenggara Timur justru menghadapi ketahanan pangan yang rapuh,
terbukti dengan tingginya tingkat kekurangan pangan dan gizi buruk.
Permasalahannya
tidak pada produksi berlebih atau surplus, tapi terkait 2 hal; pertama, pada kebijakan yang tidak
memihak. Dalam kasus beras misalnya, kebijakan yang ada, terutama kebijakan
perdagangan, tidak hanya bersifat anomali tapi juga lebih pro-impor. Salah satu
anomali adalah kebijakan yang slalu impor beras sebagai solusi.
Sebagai contoh, Perum
BULOG telah mentargetkan pengadaan beras dalam negeri tahun 2012 sebesar
4.100.000 ton, yang berarti benar-benar BULOG tidak akan melakukan impor beras
lagi. Kemudian, berdasarkan data dari Ditjen Tanaman Pangan pada periode
Februari-April 2012 terjadi panen raya menghasilkan produksi padi 28,26 juta
ton GKG, dengan surplus beras 4,523 juta ton.
Namun, kebijakan
impor tetap saja diberlakukan oleh Pemerintah. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS), untuk bulan Januari, beras impor yang masuk ke tanah air
sebanyak 355,9 ribu ton dengan nilai US$ 205,1 juta. Sementara pada bulan
Februari sebanyak 297,4 ribu ton beras impor dengan nilai US$ 154,3 juta masuk
ke Indonesia. Pada bulan Maret, sebanyak 117 ribu ton beras impor masuk dengan
nilai US$ 61,2 juta. Sehingga selama triwulan I (Januari-Maret) 2012, beras impor yang masuk ke Tanah Air telah mencapai 770,3
ribu ton dengan nilai US$ 420,7 juta atau Rp 3,8 triliun.
Kedua, permasalahan dalam pembangunan ketahanan pangan
adalah distribusi pangan dari daerah sentra produksi ke konsumen di suatu
wilayah. Distribusi adalah suatu proses pengangkutan bahan pangan dari suatu
tempat ke tempat lain, biasanya dari produsen ke konsumen. Pada aspek
distribusi pangan, ada 4 persoalan yang dihadapi, yaitu: pertama, dukungan infrastruktur, yaitu
kurangnya dukungan akses terhadap pembangunan sarana jalan, jembatan, dan
lainnya. Kedua, sarana
transportasi, yakni kurangnya perhatian pemerintah dan masyarakat di dalam
pemeliharaan sarana transportasi. Ketiga,
sistem transportasi, yang masih kurang efektif dan efisien. Selain itu,
kurangnya koordinasi antara setiap moda transportasi mengakibatkan bahan pangan
yang diangkut sering terlambat sampai ke tempat tujuan. Keempat, masalah keamanan dan pungutan
liar.
Oleh karena itu, peran apartur pemerintah
pusat maupun daerah sangatlah penting dalam mencapai ketahanan pangan, walaupun
akhir-akhir ini terdapat kecenderungan semakin pentingnya fungsi sektor swasta
dan kelembagaan pasar. Pemerintah pusat menentukan arah kebijakan, strategi
yang akan ditempuh, dan sasaran yang akan dicapai menuju tingkat ketahanan
pangan dan kesejahteraan masyarakat secara umum. Ketidakjelasan dan
keterputusan antara hierarki level politis-strategis, organisasi, dan
implementasi sangat mempengaruhi perjalanan serta kualitas ketahanan pangan,
yang meliputi dimensi ketersediaan, aksesibilitas dan stabilitas harga, serta
utilisasi produk pangan di Indonesia.
Implementasi Konsepsi Ketahanan
Nasional dan Perkembangannya
Implementasi
konsepsi Ketahanan Nasional sebagai ”landasan Konsepsional Operasional”,
tercermin dalam pembuatan dan pelaksanaan aturan perundang-undangan yang
dijabrkan kedalam peraturan daerah (Perda dalam rangka pencapaian tujuan
nasional, yang intinya terciptanya adanya rasa aman dan harapan hidup sejahtera
bagi seluruh rakyat Indonesia), melalui satu perencanaan berdasarkan urutan
prioritas, program, dan rencana aksi.
Dalam penyelenggaraan dalam pemerintahan daerah ;
1.
Secara empirik telah terjadi sembilan kali perubahan perUUan yang dijadikan
dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun hingga saat ini belum
ada keterpaduan dalam penafsirannya. Beberapa saat setelah proklamasi
kemerdekaan NKRI, diterbitkan UU no 1 tahun 1945. Secara silih berganti Undang
undang ini diganti dengan UU no 22 tahun 1948, UU no 1 tahun 1957, Penetapan
Presiden no 6. tahun 1959, UU no 18 tahun 1965, UU no 5 tahun 1974, UU no 22
tahun 1999, dan UU no 32 tahun 2004 sebagai revisi UU no 22 1999, serta UU no
33 tahun 2004.
Setiap UU tersebut mengatur Otonomi Daerah, namun cenderung berbeda beda sesuai
dengan kondisi social politik yang melatar belakangi diterbitkannya UU
dimaksud.
2.
Berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintah Daerah selama ini, terdapat
beberapa hal yang perlu mendapat perhatian bersama, antara lain ;
a.
Konsep Otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab berdasarkan
UU no. 22 tahun 1999 pada implementasinya lebih bertumpu pada sisi
otonomi daerah yang luas dan nyata saja dengan persepsi yang beragam. Persepsi
yang kurang tepat, dalam pelaksanaannya menimbulkan ekses yang melampaui
koridor otonomi dalam kerangka negara kesatuan. Karena otonomi luas, muncul
anggapan bahwa daerah dengan leluasa dalam penyelenggaraan pemerintahan Daerah,
dapat melakukan pengaturan sekehendaknya, tanpa adanya kepedulian terhadap
ketentuan yang lebih tinggi. Sedangkan aspek otonomi daerah yang
bertanggungjawab, cenderung kurang mendapat perhatian serius dari daerah.
Otonomi yang bertanggungjawab masih terkesampingkan dalam pelaksanaannya yang
seharusnya diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan (services) untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang terlihat justru semakin menurunnya
kualitas dan kuantitas pelayanan kepada masyarakat. Menurunnya pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat ditandai antara lain dengan menurunnya pelayanan
dibidang pendidikan dan kesehatan, dan penyediaan fasilitas umum, serta kurang
optimalnya pemeliharaan fasilitas umum yang telah ada.
Dalam aplikasinya konsep otonomi daerah berdasarkan UU no. 22 tahun 1999 itu
ada yang sudah tepat, ada yang belum tepat, dan ada yang tidak tepat. Itu semua
sebagai konsekuensi logis dari pemahaman terhadap konsep dasar itu belum bulat
karena memang ada pengaturan yang mengundang multi tafsir, sosialisasinya pun
belum meluas dan mendalam. Disamping itu juga karena instrumen untuk
melaksanakan itu semua masih ada yang belum tersedia. Instrumen itu berbentuk
undang undang, peraturan pemerintah, keppres, kepmen, perda, dan keputusan
kepala daerah. Pedoman, standar yang jumlahnya pasti banyak, sama dengan
banyaknya urusan yang ditangani oleh daerah. Disamping itu ada faktor lain yang
mempengaruhinya seperti isu globalisasi, trnasparasi, demokratisasi, HAM,
lingkungan hidup, dan lain lain.
Prinsip otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab yang seharusnya dilaksanakan
oleh masyarakat, sejauh ini dalam implementasinya didominasi oleh pemda dan
DPRD yang seringkali melupakan aspek filosofi dari penyelenggaraan otonomi
daerah. Sehingga yang terjadi hanya ada pergeseran tempat sentralisasi, yang
semula berada di instansi pusat, bergeser ke instansi daerah.
b.
Dengan diberlakukannya UU no. 22 tahun 1999 mulai tanggal 1 Januari 2001,
terlebih dengan adanya Ketetapan MPR no. IV/MPR/2000, secara empirik terjadi
friksi dan ketegangan antar tingkatan pemerintahan berkaitan dengan kewenangan
tersebut. Ada empat jenis friksi yaitu ;
1)
Friksi antara unsur pemerintah pusat dengan penyelenggara pemerintah
daerah
2) Friksi antara pemerintah propinsi dengan kabupaten/ kota
3) Friksi antara pemerintah kabupaten/kota sendiri
4) Friksi dalam penerapan wewenang daerah di kawasan
tertentu.
Friksi antara unsur pemerintah pusat dan penyelenggara pemerintah daerah yang
terjadi diantaranya adalah dalam penangannan suatu wewenang yang menurut UU no.
22 tahun 1999 telah menjadi wewenang daerah, namun pemerintah pusat belum
menindaklanjuti dengan fasilitasi, seperti memberi pedoman, petunjuk, standar,
pelatihan dan supervisi.
Friksi antara penyelenggara pemerintahan kabupaten/ kota dengan penyelenggara
pemerintahan propinsi antara lain terkait dengan konsep hubungan, dan tolok
ukur soal lintas kabupaten/kota.
Friksi antar penyelenggara pemerintahan kabupaten/ kota itu sendiri yang
terkait dengan sengketa soal perbatasan dan soal implikasi tata ruang serta pengembangan
potensi pendapatan daerah. Permasalahan perbatasan tidak terletak dalam UU no.
22 tahun 1999 tetapi tindak lanjut penetapan batas wilayah terdapat secara
pasti dilapangan.
Permasalahan permasalahan tersebut diatas antara lain disebabkan karena belum
tersedianya peraturan pelaksanaan dari ketentuan UU no. 22 tahun 1999. Dengan
dianutnya otonomi luas sebagaimana dinyatakan dalam pasal 7 dan pasal 9,
cenderung ditafsirkan oleh Pemerintahan Daerah secara litterlijk dan menganggap
bahwa semua kewenangan diluar ketentuan pasal tersebut menjadi kewenangan
daerah. Uraian pasal 7 ayat (2) yang tertuang dalam PP no. 25 tahun 2000 kurang
diperhatikan.
Sedangkan pada sisi lain, Departemen Sektoral dipusat juga berpegang pada UU
sektoral masing masing. Sebagai contoh Departemen Kehutanan berpegang pada UU
no. 41 tahun 1999 yang mengatur mengenai kewenangan kehutanan. Permasalahan
timbul karena subtansi kewenangan pada UU no. 22 tahun 1999 dengan UU no. 41
tahun 1999 berbeda pengaturannya. Begitu pula Badan Pertanahan Nasional selalu
menganggap UU no.5 1960 tidak terpengaruh dengan Undang undang lainnya.
Akibatnya terjadilah friksi antara pusat dari antara Departemen dan antara
instansi pusat dengan daerah. Friksi pada dasarnya berpangkal dari siapa yang
mempunyai kewenangan secara hukum atas hal yang disengketakan tersebut.
c.
Apabila keberadaan Pemda adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat,
konsekwensinya adalah bahwa urusan yang ditangani daerah seyogyanya berbeda
pula dari satu daerah dengan daerah lainnya sesuai dengan perbedaan karakter
geografis dan mata pencaharian utama penduduknya. Inilah yang sebenarnya
diakomodasikan dalam konsep otonomi nyata, namun dalam pelaksanaannya kurang
diperhatikan. Adalah sangat tidak logis kalau disebuah daerah kota sekarang ini
masih dijumpai adanya urusan urusan pertanian, perikanan, peternakan dan urusan
urusan yang berkaitan dengan kegiatan primer padahal daerah tidak memiliki
potensi itu. Untuk itu analisis kebutuhan ( need assesment) merupakan suatu
keharusan sebelum urusan tersebut diserahkan kesuatu daerah otonom.
Pada dasarnya kebutuhan rakyat dapat dikelompokkan kedalam dua hal yaitu ;
1).
Kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan,
kesehatan (basic needs), lingkungan, keamanan, dan pelayanan dasar lainnya.
2). Kebutuhan pengembangan usaha yang menjadi sektor unggulan
( core competence) masyarakat seperti pertanian, perkebunan, perdagangan,
industri, jasa dan sebagainya, sesuai dengan karakter daerah masing masing.
3.
Pada hakekaktnya filosofi dasar UU no 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah,
adalah diprioritaskan pada peningkatan kualitas pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat. Ternyata pelaksanaan UU no. 22 ini, belum sepenuhnya terselenggara
secara efektif, efesien, ekonomis dan akuntabel, atau belum mampu diwujudkan,
bahkan semakin banyak terdistorsi oleh kepentingan sesaat.
Ada 2 ( dua ) kelompok pelayanan (services) yang erat kaitannya dengan
kesejahteraan dan keamanan, sebagai output yang diharapkan dari Pemda ;
a.
Pengadaan barang publik (Public Goods) yang sangat diperlukan dalam
pemenuhan kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan),
antara lain: pasar, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, dan lain lain.
b. Pelayanan pengaturan (Regulation), berupa pengaturan untuk
mengatur kepentingan umum dan untuk menciptakan ketentraman/ ketertiban (Law
and Order) dalam masyarakat, antara lain: KTP, KK, Akta Kelahiran, IMB,
ijin usaha dan lain lain.
Kedua
kelompok pelayanan (services) ini, sangat mendasar kaitannya dengan
implementasi Konsepsi Tannas, yang menggambarkan terlaksananya pengaturan dan
penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang, serasi dan selaras
dalam pembangunan daerah.
Dengan diterbitkannya UU no.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan
penjelasannya sebagai pengganti UU no 22 tahun 1999, sertaa UU no 33 tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
dan penjelasannya, diharapkan akan dapat mengeleminir semua permasalahan dan
kendala dalam pelaksanaan Otonomi daerah, terutama dalam meningkatkan
kualitas pelayanan publik, meningkatkan kesejahteraan, dan berbagai upaya
dalam memfilter separatis.
Terdapat
beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan Pembangunan
Daerah Otonom, antara lain ;
a.
Masih terbatasnya ketersediaan sumber daya manusia yang baik dan
professional.
b. Masih terbatasnya ketersediaan sumber-sumber pembiayaan yang memadai,
baik yang berasal dari kemampuan daerah itu sendiri (internal), maupun sumber
dana dari luar daerah (eksternal).
c. Belum tersusunnya kelembagaan yang efektif, belum
terbangunnya sistem dan regulasi yang jelas dan tegas. Kurangnya kreatifitas
dan partisipasi masyarakat secara kritis dan nasional.
d. Belum optimalnya proses desentralisasi dan otonomi daerah
antara lain karena belum jelasnya kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah
yang berakibat pada tumpang tindihnya kebijakan pusat dan daerah.
e. Masih rendahnya kerjasama antar daerah dalam penyediaan
pelayanan publik, serta meningkatnya keinginan untuk membentuk daerah otonom
baru yang belum sesuai dengan tujuannya.
Daftar
Pustaka :