Pendidikan Kewarganegaraan ( Tulisan 3 )
1.BAGAIMANA
SISTEM KETAHANAN NASIONAL PADA MASA ORDE BARU DAN REFORMASI
Kepemimpinan Nasional dan Ketahanan Nasional adalah dua aspek
yang tidak hanya saling terkait tapi juga saling mempengaruhi satu sama lain.
Kepemimpinan nasional yang kuat pada satu sisi akan berdampak kepada
meningkatnya ketahanan nasional, sementara itu ketahanan nasional yang mantap
pada sisi lain akan makin memperkokoh kepemimpinan nasional suatu bangsa.
Sebaliknya, tanpa kepemimpinan yang baik dalam pengelolaan sebuah negara, terutama
Indonesia sebagai bangsa yang multi etnis dengan kondisi geografis wilayah
negara yang berbentuk kepulauan, negeri ini amat rentan terhadap guncangan
sosial dan politik yang dapat berujung kepada perpecahan dan disintegrasi
bangsa. Ketahanan nasional yang tinggi juga berpengaruh kuat terhadap
terwujudnya kepemimpinan nasional yang kuat, dapat menjalankan fungsi-fungsi
kepemimpinan secara efektif dalam mengelola pemerintahan negara. Keduanya,
ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya,
saling mendukung dan saling terimbas.
Sejak kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 hingga saat ini,
rezim pemerintahan negara telah berganti beberapa kali, yang dapat dikelompokan
dalam tiga fase atau orde. Setiap penguasa dengan episode-nya masing-masing
memiliki karakteristik dan gaya pemerintahan yang unik dan berbeda. Orde Lama
yang dikomandani Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Soekarno, dengan pola
pemerintahan nasionalistik-universal yang didasari oleh suasana batin penolakan
imprealisme-kolonialisme (gaya lama maupun gaya baru, neokolonialisme) cukup
berhasil menyatukan bangsa Indonesia dalam sebuah negara dan menciptakan
ketahanan nasional yang cukup baik. Bahkan, pada saat Indonesia masih sangat
belia itu, Soekarno dengan gemilang merebut dan mempertahankan Irian Barat
berintegrasi ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Jika jalan sejarah
tidak berubah yang dipicu oleh tragedi politik berdarah di tahun 1965, beberapa
bagian wilayah lainnya di seputaran nusantara, seperti Serawak di utara
Kalimantan, Timor-Timur, bahkan Papua Nugini dan Semenanjung Malaysia dapat
ditaklukan untuk diintegrasikan kedalam wilayah Indonesia dan menjadikannya
bagian integral bangsa Indonesia oleh penguasa saat itu.
Masa pemerintahan Soekarno tidaklah luput dari berbagai
persoalan dan rongrongan yang mengarah kepada bubarnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Pemberontakan demi pemberontakan terjadi di beberapa daerah
seperti di Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Upaya pecah-belah negara yang baru
terbentuk inipun juga telah dilakukan secara “legal” melalui pembentukan
negara-negara kecil di nusantara yang menyatu dalam negara Republik Indonesia
Serikat (RIS) hasil perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Namun,
kepemimpinan Orde Lama dengan gaya khas seorang orator dan diplomat ulung,
Soekarno dapat dipandang berhasil mempertahankan keutuhan NKRI melalui berbagai
langkah strategis, baik kedalam negeri maupun ke tataran diplomasi
internasional. Kondisi ketahanan nasional tetap terjaga hingga kepada
pergantian rezim di tahun 1966/67.
Era Orde Lama berlalu digantikan Orde Baru. Ibarat lain padang
lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Demikian juga terjadi dalam dunia
pemerintahan negara Indonesia. Orde Baru, yang dimotori oleh Jenderal Soeharto
yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia kedua, muncul dengan slogan
barunya: “bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekwen”. Kalimat sakti mandraguna tersebut telah berhasil menyihir seluruh
lapisan masyarakat yang rindu dengan pemerintahan yang benar-benar berdasarkan
konstitusi dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila tidak hanya dalam
kehidupan bermasyarkat tetapi juga dalam sistim pemerintahan negara.
Setidaknya, melalui sosialisasi jargon Orde Baru tersebut, rekatan persatuan
dan kesatuan antar elemen masyarakat yang terdiri dari ratusan suku bangsa
dapat lebih kuat sehingga mengurangi hayalan disintegrasi bangsa untuk
sementara waktu.
Langkah pemerintahan Soeharto yang fokus kepada usaha pemenuhan
kebutuhan pokok rakyat melalui program-program pembangunan lima tahunan, telah
secara signifikan meningkatkan integrasi nasional yang semakin hari semakin
kuat di antara sesama anak bangsa. Program asimiliasi dan perkawinan campuran
antar suku dan etnis, termasuk di kalangan Tionghoa, telah membuka sekat-sekat
perbedaan di antara berbagai komponen bangsa untuk bersatu, yang pada
gilirannya dapat mempertinggi ketahanan nasional negara Indonesia. Program
transmigrasi yang diperkirakan telah membaurkan puluhan juta penduduk etnis
Jawa-Madura-Bali ke hampir semua komunitas di seantero nusantara juga menjadi
salah satu kunci keberhasilan kepemimpinan nasional di bawah kendali Soeharto
dalam menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka peningkatan ketahanan
nasional.
Dalam mengatasi pergolakan bernuansa disitengrasi, pemerintahan
Orde Baru lebih mengedepankan gaya militer-otoriteristik melalui berbagai
strategi yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Bahkan untuk membasmi tindak
kriminalitas dan premanisme, pimpinan nasional saat itu menerapkan pola
penghilangan paksa ala militer melalui satuan khusus bawah tanah, petrus
(penembak misterius) yang menghasilkan matius (mati misterius). Keberadaan
Kopkamtib (Komando Operasional Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan Kantor
Sosial Politik di daerah-daerah menjadi alat “pengamanan” yang difungsikan
tidak hanya sebagai strategi preventif-represif tapi juga sebagai komponen
petugas penindakan dan recovery terhadap tindakan yang mengarah kepada
pengancaman ketahanan nasional. Di masa Orde Baru, tingkat stabilitas ketahanan
nasional dikategorikan sangat mantap.
Orde Baru harus berakhir, digantikan dengan Orde Reformasi sejak
1998 dan masih berjalan hingga saat ini. Pada kurun waktu 13 tahun masa
Reformasi ini, telah muncul silih berganti 4 presiden di republik ini,
Baharuddin Jusuf Habibi, Abdul Rahman Wahid, Megawati Soekarnoputra, dan Susilo
Bambang Yudhonono. Dalam kaitannya dengan ketahanan nasional, buah pahit era
Orde Reformasi berupa lepasnya Provinsi Ke-27 Timor Timur (yang salah satu
gubernurnya Abilio Soares adalah alumnus Lemhannas) dan berpindahnya dua pulau,
Sipadan dan Ligitan ke wilayah kekuasaan negara Malaysia, dapat dijadikan
cerminan awal lemahnya kepemiminan nasional Indonesia di era ini. Pertanyaan
mendasar yang perlu direnungkan bersama adalah masihkan kita dapat mengharapkan
kepemimpinan nasional saat ini mampu meningkatkan dan mempertahankan ketahanan
nasional dalam kaitannya dengan penjagaan keutuhan NKRI? Dengan kata lain,
bagaimanakah efektivitas kepemimpinan nasional di era reformasi terhadap
peningkatan ketahanan nasional? Persoalan utama ini tentunya amat menarik untuk
dijadikan bahan kajian dan analisis dalam rangka menginspirasi setiap anak
bangsa, teristimewa para pemimpin nasional, dalam mencari formula kepemimpinan
nasional yang baik, efektif dan efisien di masa mendatang.
2.BANDINGKAN SISTEM
KETAHANAN NASIONAL DI NEGARA INDONESIA DAN NEGARA-NEGARA LAIN DI DUNIA.
Bobroknya Ketahanan
Nasional Indonesia sebagai Negara Maritim
Secara geografis negara Indonesia dikenal sebagai negara
maritim, yaitu negara yang letaknya dikelilingi oleh banyak pulau. Negara kita
mempunyai predikat sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan hampir
dua per tiga wilayah negeri ini adalah air dan lautan.
Kalau kita berbicara mengenai konsep negara maritim, tidaklah
lepas dari kepentingan pertahanan dan industri pertahanan. Sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia, Indonesia tidak hanya harus bisa menjaga
kedaulatan, tetapi juga melindungi seluruh kekayaan alam yang dimilikinya.
Jangan sampai sebagai negara maritim, kita tidak dapat menjaga ribuan pulau
yang dimiliki dan sumber kekayaan alam lainnya.
Definisi dari ketahanan nasional itu sendiri adalah segala usaha
untuk mempertahankan keutuhan wilayah sebuah negara dan keselamatan segenap
bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Apabila
kita melihat pembangunan sistem pertahanan nasional di negara kita dan kita
kaitkan dengan konsep negara Indonesia sebagai negara maritim.
Maka belum ada keselarasan antara pembangunan sistem pertahanan
dengan konsep negara kita sebagai negara martim. Hal ini dapat dibuktikan dari
perbandingan antara luas wilayah perairan negara kita dengan minimnya peralatan
kapal selam yang dimiliki negara Indonesia untuk menjaga wilayah maritimnya
dari ancaman yang mengganggu keutuhan bangsa dan negara. Serta belum ada
kesadaran dari seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Indonesia sebagai
sebuah negara yang tangguh.
Dampak yang akan dialami oleh negara kita tak heran jika
pertahanan nasional di sektor kelautan menjadi rapuh. Alhasil, tak sedikit
batas wilayah kedaulatan NKRI selalu di langgar oleh pihak asing. Misalnya
sudah beberapa kali kapal-kapal dari negara lain melanggar masuk ke wilayah NKRI.
Untuk kedepannya persoalan maritim atau kelautan akan semakin
penting. Misal, dari sektor ekonomi, jalur-jalur perhubungan dan perdagangan
lewat laut sejalan dengan proses globalisasi menuju pasar bebas akan semakin
ramai. Di sisi lain, laut juga mempunyai arti ekonomi yang besar karena
kandungan sumber-sumber alamnya yang dapat menguntungkan bagi Indonesia.
Sehingga apabila kondisi pertahanan nasional di sektor maritim
ini tidak segera di perbaiki. Maka negara Indonesia akan kehilangan
keuntungan di sektor ekonomi, misalnya jalur perdagangan Indonesia dengan
negara lain akan terganggu, kegiatan ekspor-impor barang juga terganggu. Serta
Indonesia akan kehilangan sumber kekayaan alamnya.
Dan menurut pendapat saya, memang seharusnya warga negara
indonesia saling bersatu dalam menjaga persatuan dan kesatuan wilayah maupun
segala sesuatu yang dimiliki indonesia agar tidak mudah diakui oleh
negara lain
ataupun diambil negara lain.
Sumber :
http://rosaelinanoersolihat.blogspot.com/2013/05/pendidikan-kewarganegaraan-tulisan-3.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar